PERLAWANAN SIMBOLIK DALAM WACANA NGAWUR KARENA BENAR DAN LUPA
ENDONESA KARYA SUJIWO TEJO (ANALISIS WACANA KRITIS)
Hendra Syahroni
Program Pascasarjana, Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya
Abstrak
Penelitian ini berjudul
Perlawanan Simbolik dalam Wacana Ngawur
Karena Benar dan Lupa Endonesa Karya Sujiwo Tejo (Analisis Wacana Kritis). Fokus
penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman tentang perlawanan simbolik
dalam (1) aspek kelinguistikan, (2) aspek kepragmatikan, (3) aspek
sosiokultural wacana NKB dan LE karya ST. Penelitian ini bertujuan
untuk menemukan perlawanan simbolik dalam wacana NKB dan LE karya ST, yang
meliputi (1) perlawanan simbolik dalam aspek kelinguistikan, (2) perlawanan
simbolik dalam aspek kepragmatikan, dan (3) perlawanan simbolik dalam aspek
sosiokultural. Teori yang digunakan untuk menganalisis wacana NKB dan LE karya ST ini adalah teori
Analisis Wacana Kritis (AWK) yang dikemukakan Norman Firclough.
Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif dengan orientasi analisis
wacana kritis. Pendekatan kualitatif yang berpijak dari data deskriptif. Teknik
yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah teknik dokumentasi dan teknik
observasi/pengamatan atau teknik simak. Menggunakan tingkat analisis mikro,
meso, dan makro. Sumber data dalam penelitian ini adalah wacana NKB dan LE karya ST. Dari hasil analisis data, dideskripsikan hasil
penelitian sebagai berikut. Pertama,
perlawanan simbolik dalam aspek
kelinguistikan memperlihatkan bahwa perlawanan dilakukan melalui kosa kata,
gramatika, dan struktur teks yang membentuk kesatuan wacana.Kedua, aspek kepragmatikan wacana NKB dan LE karya ST, perlawanan simbolik
hadir melalui kontribusi proses produksi dan konsumsi teks. Berdasarkan proses produksinya, dapat difahami bahwa
terdapat konteks situasi yang melatarbelakangi wacana. Maksud ujaran , berdasarkan hasil analisis pada maksud ujaran
mendukung perlawanan simbolik dalam wacana NKB
dan LE karya ST, ditemukan adanya
makna ujaran yang mendukung maksud perlawanan. Ketiga, pada aspek sosiokultural
yang merupakan faktor makro memberikan pengaruh terhadap kehadiran
wacana NKB dan LE.
Kata Kunci: perlawanan
simbolik, wacana Sujiwo Tejo, Analisis Wacana Kritis.
Abstract
This study titled Symbolic Resistance in Sujiwo Tejo’s Discourse of Ngawur Karena Benar and Lupa
Endonesa (a Critical Discourse Analysis). The focus of this research is to
gain an understanding of symbolic resistance in (1) linguistic, (2) pragmatic,
and (3) socio-cultural aspects of discourse Sujewo Tejo’s NKB and LE. This study
aims to find symbolic resistance in discourse of Sujewo Tejo’s NKB and LE,
which includes (1) a symbolic resistance in linguistic (2) in pragmatic, and
(3) in the socio-cultural aspects. The theory used to analyze the discourse of
Sujewo Tejo’s NKB and LE
was the Critical Discourse Analysis (CDA) proposed by Firclough. This
study applied a qualitative approach to the orientation of critical discourse
analysis. Qualitative approach used
descriptive data as its basis. The technique used to collect the data
were observation or documentation, using
micro- level analysis, meso, and macro. Sources of data was the discourse of
Sujewo Tejo’s NKB and LE. From
the analysis of the data, it was described in the following results. First, the
symbolic aspect of linguistic showed that resistance was done through
vocabulary, grammar, and text structures that formed a unified discourse.
Second, the aspects of pragmatic discourse of Sujewo Tejo’s NKB and LE, symbolic resistance contribution came through the production
and consumption of process text. Based on the production process , it can be
understood that there were underlying context of discourse. The purpose of
speech, based on the analysis on the meaning of utterances that supported
symbolic meaning in discourse NKB resistance and LE, there was an utterance
meaning that supports intent resistance. Thirdly, the socio-cultural aspects of
a macro factors influenced the presence of NKB
and LE discourse. Situational and socio-cultural context was able to
regenerate anxiety. Anxiety raised creative expression in the discourse of NKB and LE.
Keywords: symbolic resistance, discourse, Critical
Discourse Analysis
PENDAHULUAN
Wacana Ngawur Karena Benar dan Lupa Endonesa Karya Sujiwo Tejo.
merupakan kumpulan wacana “Wayang Durangpo” pada harian Jawa Pos setiap hari
Minggu. Dalam wacana tersebut terdapat unsur linguistik dan unsur nonlinguistik
yang memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas sosial. Wacana tersebut di dalamnya terdapat konteks
sosial yang membentuk wacana bisa tercipta, atau dapat dikatakan bahwa wacana
tersebut tidak terlepas dari konteksnya.
Wacana diposisikan untuk merespon situasi sosial tertentu, atau dapat
dikatakan bahwa dibalik teks tersebut terdapat kepentingan yang sedang
diperjuangkan. Kepentingan yang diperjuangkan tersebut merupakan bentuk
perlawanan yang halus dan tak tampak, dikatakan sebagai perlawanan simbolik.
Oleh karena itu, kajian mengenai perlawanan simbolik pada Wacana Ngawur
Karena Benar dan Lupa Endonesa
Karya Sujiwo Tejo dapat diidentifikasi secara komprehensif.
Untuk
menentukan perlawanan simbolik yang ada dalam Wacana Ngawur Karena Benar dan Lupa
Endonesa karya Sujiwo Tejo dibutuhkan teori wacana kritis Fairclough. Hal
itu disebabkan teori wacana yang digagasnya meletakkan struktur teks pada tiga
aspek, yakni analisis teks, analisis praktik wacana, dan analisis kritik sosial
budaya Smith (dalam Mills, 2007: 114). Ketiga aspek tersebut, digunakan untuk
mengungkap seluk beluk perlawanan simbolik pada Wacana Ngawur Karena Benar dan Lupa
Endonesa karya Sujiwo Tejo.
Penelitian
yang berjudul Perlawanan Simbolik dalam Wacana Ngawur Karena Benar dan Lupa
Endonesa karya Sujiwo Tejo menggunakan Analisis Wacana Kritis akan melibatkan permasalahan pada tiga
dimensi, yaitu dimensi teks, dimensi praksis kewacanaan, dan dimensi praksis
sosiokultural untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman tentang perlawanan
simbolik dalam wacana Ngawur Karena Benar
dan Lupa Endonesa karya Sujiwo Tejo.
Sesuai
dengan Analisis Wacana Kritis, penelitian ini dibatasi pada fokus (i) aspek
kelinguistikan, Wacana Ngawur Karena
Benar dan Lupa Endonesa karya
Sujiwo Tejo, yang tercermin dalam kosa
kata, gramatikal, dan struktur teks untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman
perlawanan simbolik, (ii) aspek kepragmatikan (pemroduksian dan pengonsumsian)
wacana, yaitu konteks situasi yang mempengaruhi proses pemroduksian, dan makna
ujaran yang ada sebagai hasil pengonsumsian wacana, (iii) aspek sosiokultural,
yaitu terkait dengan budaya yang mendominasi dalam wacana untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman perlawanan
simbolik.
Berdasarkan fokus tersebut, tujuan umum
penelitian ini adalah menemukan perlawanan simbolik dalam Wacana Ngawur Karena Benar dan Lupa Endonesa karya Sujiwo Tejo. Secara khusus, penelitian
ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan(1) Aspek kelinguistikan Wacana Ngawur Karena Benar dan Lupa
Endonesa karya Sujiwo Tejo. (2) Aspek kepragmatikan Wacana Ngawur Karena Benar dan Lupa Endonesa karya Sujiwo Tejo. (3) Aspek sosiokultural dalam Wacana Ngawur Karena Benar dan Lupa Endonesa karya Sujiwo Tejo.
Prosedur Analisis
Wacana Kritis (AWK)
Wacana dan banyak contoh
praksis diskursif tertentu dalam pandangan Fairclough harus dilihat secara
simultan sebagai (i) teks-teks bahasa,
(ii) praksis kewacanaan, yaitu
produksi dan interpretasi teks, dan (iii) praksis
sosiokultural, perubahan-perubahan masyarakat, institusi, kebudayaan, dan
sebagainya yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana. Ketiga unsur tersebut
menurut Fairclough disebut “dimensi wacana”. Menganalisis wacana secara kritis
pada hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana tersebut secara
integral. Menurut Jorgensen dan Phillips (2007: 128) model tiga dimensi
Fairclough ini merupakan kerangka analisis yang digunakan untuk penelitian
empiris tentang komunikasi dan masyarakat. Analisis tersebut hendaknya
dipusatkan pada (1) ciri-ciri linguistik teks tersebut (teks), (2) proses yang
berhubungan dengan pemroduksian dan pengonsumsian teks itu (praksis
kewacanaan), dan (3) praksis sosial yang lebih luas yang mencakup peristiwa
komunikatif (praksis sosial).
a.
Dimensi
Teks Wacana
Dalam pandangan kritis, teks
dibangun dari sejumlah piranti linguistik yang di dalamnya terdapat ideologi
dan kekuasaan. Analisis wacana kritis banyak memanfaatkan piranti linguistik
yang disarankan dalam linguistik fungsional sistemik Halliday (1985; 1994) dan
linguistik kritis Fowler (1986) untuk memberikan kepemilikan stuktur linguistik
dalam teks bahasa (Santoso, 2009: 55). Dalam tahap pemerian ini, analisis
dilakukan terhadap kosakata, gramatika, dan struktur teks.
1) Kosakata
Kosakata
atau perbendaharaan kata adalah banyaknya kata yang dimiliki suatu bahasa atau
penutur. Lebih lanjut Hatch dan Brown (170:183) menjelaskan bahwa, ‘nama’
termasuk kosakata.
Santoso (2003: 54) menjelaskan
bahwa dalam kajian kosakata menyangkut tiga nilai, yaitu (1)
representasi/pengalaman, (2) relasional, dan (3) ekspresif. Kosa kata
pada nilai representasi, yaitu pilihan kosakata merepresentasikan
ideologi yang diperjuangkan, berbentuk simbol dan relasi makna; kosakata pada
nilai relasional, yaitu kosa kata formal dan informal. Pilihan kosakata formal
ini menggunakan kata-kata asing dan kosakata ilmiah untuk mendatangkan kesan
formal. Pilihan kosa kata yang demikian ini akan menciptakan kesan kekuasaan,
posisi dan status. Pilihan kosakata “informal” ditunjukkan melalui pilihan
kosakata sehari-hari yang amat mudah difahami oleh pendengarnya. Kata informal
sering dipilih untuk menciptakan aspek-aspek solidaritas kesantunan, dan
ekspresi afektif. Kosakata pada nilai ekspresi, yaitu kosakata pada nilai
“evaluasi positif” dan “negatif”. Penutur sering memunculkan evaluasinya
terhadap realitas secara implisit
melalui kosakata ini. Perbedaan antar tipe wacana dalam nilai-nilai
ekspresif dari berbagai kosakata memiliki signifikan secara ideologis.
2) Gramatika
Darma (2009:74)
menjelaskan bahwa kajian gramatika mencakup tiga aspek, yaitu nilai pengalaman,
nilai relasional dan nilai ekspresif.
Pada nilai relasional,
berhubungan dengan cara bagaimana gramatika mengodekan isyarat relasi hubungan
sosial timbal balik yang diperankan penghasil teks. Modalitas relasional terdiri dari (1) intensional, (2) epistemik,
(3) deontik, dan (4) dinamik (Alwi dalam Santoso (2003: 59). Modalitas
intensional berkaitan dengan fungsi instrumental. Bahasa digunakan untuk
menyatakan sikap pembicara sehubungan dengan peristiwa non aktual yang
diungkapkannya. Ini berarti bahwa apa yang diungkapkannya merupakan dorongan
untuk mengaktualisasikan peristiwa yang bersangkutan (Alwi, 1991: 36). Atas dasar itu,
melalui tuturan yang dikemukakannya, seseorang dapat menyatakan “keinginan”,
“harapan”, “ajakan”, “pembiaran”, dan “permintaan”. Modalitas
epistemik menurut Palmer (1974) merupakan penilaian penutur terhadap
kemungkinan dan keperluan bahwa sesuatu itu demikian atau tidak demikian (Alwi, 1991: 90). Modalitas epistemik mengandung makna epistemik. Sikap pembicara yang didasari oleh kekurangtahuan atau kekurangyakinan
terhadap kebenaran proposisi dapat digambarkan sebagai “kemungkinan”,
“keteramalan”, “keharusan”, atau “kepastian”.
Modalitas deontik berhubungan
dengan kewajiban. Sikap pembicara terhadap peristiwa pada modalitas deontik
didasarkan pada kaidah sosial, baik yang berupa kewenangan pribadi atau
kewenangan resmi (Alwi, 1991: 163). Dalam modalitas deontik terkandung makna
bahwa pembicara sebagai sumber deontik
mengharuskan, mengizinkan, dan melarang terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan. Modalitas mengandung makna
“perintah”, “izin”, dan “larangan”. Modalitas
dinamik mempersoalkan sikap pembicara terhadap aktualisasi peristiwa yang
ditentukan oleh perikeadaan yang lebih bersifat empiris. Yang dijadikan tolok
ukur oleh pembicara adalah hukum alam, sementara itu dalam kaidah deontik
adalah kaidah sosial (Alwi, 1991: 233). Modalitas dinamik berciri objektif.
Dalam modalitas dinamik terkandung makna “mampu” atau “sanggup”.
3) Struktur Teks
Dua analisis yang perlu dalam struktur teks adalah (1) konvensi interaksional
yang digunakan, dan (2) penataan serta
pengurutan teks. Aspek konvensi
interaksional yang digunakan, adalah (a) pengelolaan gilir-tutur , dan (b)
pengontrolan antar partisipan. Dalam
gilir tutur, dialog antar partisipan yang tidak sejajar, hak dan kewajiban
gilir tutur juga tidak sejajar. Partisipan yang memiliki kekuasaan besar akan
memaksakan kontribusinya kepasa partisipan yang memiliki kekuasaan lebih kecil.
Terdapat empat piranti utama yang umumnya dipilih, yakni (1) interupsi, (2)
penegasan, (3) pengontrolan topik, dan (4) Formulasi ( Fairclough dalam
Santoso, 2003: 61).
Persoalan kedua yang dikaji dalam struktur teks adalah
pengurutan teks. Sebuah teks memiliki struktur yang mungkin saja dibentuk oleh
elemen-elemen yang dapat diramalkan dalam urutan yang dapat diramalkan.
(Firclough, 1989: 137). Teks seharusnya dibentuk oleh elemen-elemen, seperti latar belakang suatu peristiwa,
bagaimana bisa terjadi, siapa pelakunya, dan sebagainya.
b. Dimensi Praksis Kewacanaan
Praksis kewacanaan berkaitan dengan produksi dan
interpretasi proses-proses diskursif (Santoso, 2006: 67). Analisis praksis kewacanaan berkaitan dengan
produksi dan interpretasi proses-proses diskursif. Analisis dimensi praksis
kewacanaan ini berupa tahap menafsirkan
atau menginterpretasi relasi antara produksi dan interpretasi proses-proses
dirkursif itu. Dua hal yang menjadi
lahan adalah (i) interpretasi teks, dan (ii) interpretasi konteks. Dalam
interpretasi teks, ada empat level ranah interpretasi, yakni (i) bentuk lahir
tuturan, (ii) makna ujaran, (iii) koherensi lokal, (iv) struktur teks. Dalam
level interpretasi konteks ada dua level interpretasi, yakni (i) konteks
situasional, dan (ii) konteks antarteks.
c.
Dimensi Praksis Sosiokultural
Analisis
praksis sosiokultural menghubungkan teks dan struktur sosial dimediasikan oleh
konteks sosial wacana. Wacana akan menjadi nyata, beroperasi secara sosial,
sebagai bagian dari proses-proses perjuangan institusional dan masyarakat.
Analisis tahap ketiga AWK ini berupa tahap menjelaskan
relasi fitur-fitur tekstual yang heterogen beserta kompleksitas proses
wacana dengan proses perubahan sosiokultural, baik perubahan masyarakat,
institusional, dan cultural. Menurut Fairclough (dalam Santoso, 2012: 134) tujuan tahap
eksplanasi adalah “memotret” wacana sebagai bagian proses sosial sebagai
praksis sosial, yang menunjukkan bagaimana wacana itu ditentukan oleh struktur
sosial dan reproduktif apa saja yang mempengaruhi wacana yang secara kumulatif
memakai, menopang, atau mengubah struktur-struktur itu.
Dalam penelitian ini, terkait dengan tiga dimensi wacana, dalam
AWK dibedakan menjadi tiga tingkat analisis, yaitu deskripsi, interpretasi, dan
eksplanasi. Deskripsi merupakan tingkatan yang berhubungan dengan tingkat
formal teks. Meneliti pilihan kosakata, gramatika, dan struktur teks. Pada nilai
representasi, pilihan kosakata yang berbentuk simbol dan relasi makna; nilai
relasional pada pilihan kosakata formal dan informal; nilai ekspresi pada pilihan kosakata untuk
penilaian negatif dan positif. Pilihan gramatika, membahas modalitas yang
digunakan. Pada Struktur teks terkait konvensi interaksi (gilir tutur dan
pengontrolan partisipan). Tahap interpretasi berkaitan dengan hubungan antara
teks dengan interaksi, yang melihat teks sebagai suatu produk proses produksi,
dan sebagai sumber dalam proses interpretasi. Tahap ini membahas konteks situasi yang melatarbelakangi teks
dan maksud ujaran yang mendukung
perlawanan. Tahap ketiga adalah tahap eksplanasi berkaitan dengan hubungan
antara konteks interaksi dan sosial dengan penentuan sosial proses produksi dan
interpretasi, serta efek-efek sosialnya (Fairclough, 2003: 29). Pada tahap ini,
membahas tentang sosiokultural yng dominan dalam wacana.
METODE
Penelitian
ini mengunakan pendekatan kualitatif dengan orientasi analisis wacana kritis.
Pendekatan kualitatif yang berpijak dari data deskriptif. Teknik yang digunakan
untuk mengumpulkan data adalah teknik dokumentasi dan teknik
observasi/pengamatan atau teknik simak. Menggunakan tingkat analisis Mikro,
meso, dan makro. Sumber data dalam penelitian ini adalah wacana NKB dan LE karya ST. Data penelitian ini ada dua macam, yaitu data utama
dan data tambahan. Data utama untuk fokus pertama adalah kosa kata, gramatika,
dan struktur teks. Data fokus kedua adalah konteks situasi, dan makna ujaran.
Data fokus ketiga adalah sosiobudaya yang dominan. Data tambahan penelitian ini
adalah informasi dari blog Surat Kabar Jawa Pos (JPNN.COM) terkait dengan
konteks situasi yang melatarbelakangi wacana tersebut. Data kedua ini digunakan
untuk membantu memaknai teks. Analisis data dilakukan dengan metode Analisis
Wacana Kritis model Norman Firclough. Dalam penelitian ini, Model Analisis
Wacana Kritis menganalisis, pertama
analisis aspek kelinguistikan terkait dengan deskripsi kosa kata, gramatika,
dan struktur teks waccana NKB dan LE karya ST; kedua aspek kepragmatikan, terkait dengan produksi dan
reseptif teks, dan ketiga aspek sosiokultural, yaitu terkait dengan sosiobudaya yang
dominan. Penganalisisan data dilakukan dengan tiga tahap, yaitu tahap
deskripsi, interpretasi, dan eksplanasi secara simultan pada ketiga fokus
penelitian, yakni aspek kelinguistikan, aspek kepragmatikan, aspek
sosiokultural.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Aspek
Kelinguistikan Wacana NKB dan LE Karya ST
Dalam bagian ini
dideskripsikan hasil analisis dalam level teks atau aspek kelinguistikan. Di
sini dipaparkan hasil analisis aspek kelinguistikan (kosakata, gramatika,
struktur teks) untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman perlawanan simbolik
yang ada dalam wacana.
Analisis dimensi teks merupakan level
pertama dalam tahapan analisis wacana kritis Model Firclough. Bagian ini
dideskripsikan hasil analisis teks
atau analisis aspek kelinguistikan (kosakata, gramatika, dan struktur teks)
untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman perlawanan simbolik pada wacana NKB dan LE
karya Sujiwo Tejo.
1.
Kosakata
a.
Penggunaan
Kosakata pada Representasi Ideologi
Perlawanan simbolik dalam NKB
dan LE karya ST, menggunakan simbol
untuk merepresentasikan ideologi. Ideologi yang diperjuangkan tersebut
merupakan perlawanan simbolik terhadap praktik dominasi. Simbol berikut ini merupakan simbol
perlawanan terhadap peristiwa dan situasi tertentu. Ideologi yang dibawa oleh
pilihan kosakata yang berbentuk simbol tersebut dapat diamati melalui hubungan
simbol dan relasi makna sebagaimana berikut ini.
(12) Limbok (ANKS, RSi,
36)
Data
(12) terdapat simbol yang membawa makna ideologi tertentu. Secara kontekstual,
kosakata limbuk dalam teks ANKS karya ST adalah putri Punakawan Cangik. Punakawan ini
adalah seorang pembantu putri atau putra raja. Punakawan ini menggambarkan
orang yang setia kepada junjungannya. Mereka bukan sekedar orang biasa atau parekan (dayang-dayang), tetapi lebih
dari itu, mereka adalah sahabat dekat para junjungan putri atau permaisuri,
yang mengabdikan diri dengan kesetiaan tanpa batas dan mempunyai kejujuran.
Secara referensial, Limbuk gemuk dan
pendek. Penggunaan nama Limbuk dalam
wacana ini digunakan sebagai simbol, yaitu simbol kejujuran. Sebagai sebuah
simbol, kosakata limbuk membawa
ideologi yang diperjuangkan yaitu sebuah perlawanan simbolik pada
ketidakjujuran. Selain hal tersebut, berdasarkan makna kontekstual,
referensial, dan simbolik dapat terlihat telah terjadi penyimpangan makna
secara kontekstual. Simbol kosakata Limbuk
sebagai perlawanan simbolik pada sikap ketidakjujuran. Dari simbol Limbuk dalam teks ANKS ini dapat disimpulkan bahwa simbol tersebut merupakan
perlawanan simbolik pada tokoh Nazaruddin, mantan bendahara umum Partai
Demokrat yang terjerat kasus korupsi di kemenpora. Perlawanan simbolik pada
ketidakjujuran, pada kesaktian
Nazaruddin karena setiap omongannya bisa mengguncangkan Indonesia, dan
perlawanan secara simbolik pada sikap diamnya Nazaruddin setelah tertangkap
serta perlawanan simbolik pada kasus Nazaruddin yang dianggab banyak rekayasa.
Dalam nilai representasi tersebut,
selain simbol juga terdapat relasi makna yang memperjuangkan ideologi. Kosakata
limbuk sebagai simbol tersebut
didukung oleh penggunaan relasi makna, seperti data berikut ini.
(15)
ramah tamah, ngobrol, ngecipris ngalor-ngidul, ngomel-ngomel (ANKS, RRm,
36)
Dari deretan kata-kata seperti pada data
(15) tersebut, sebenarnya merupakan hiponim dari kegiatan tutur, terdapat
ideologi yang sedang diperjuangkan pengarang, yaitu perlawanan simbolik
pada kebohongan dan ketidakjujuran.
Deretan kata tersebut mendukung makna simbol yang digunakan.
Dari simbol Limbuk dalam wacana ANKS
ini dapat disimpulkan bahwa simbol tersebut merupakan perlawanan simbolik pada
tokoh Nazaruddin, mantan bendahara umum Partai Demokrat yang terjerat kasus
korupsi di Kemenpora. Perlawanan simbolik pada ketidakjujuran, pada
kesaktian Nazaruddin karena setiap
omongannya bisa mengguncangkan Indonesia, dan perlawanan secara simbolik pada
sikap diamnya Nazaruddin setelah tertangkap serta perlawanan simbolik pada
kasus Nazaruddin yang dianggab banyak rekayasa.
b. penggunaan Kosakata pada Nilai
Relasional
1) Penggunaan Kosakata Informal
Penggunaan kosakata informal
terdapat pada data b
(112) Dioncati, korat-karit, ndak karu-karuan, babak
bunyak (KBBA, KFI, 10-14).
(113) Yuk sampean tak kenalno mbarek…Mulakno Kathok, cawetan, nyengkiwing, paur-paur temen
ngalor ngidul nyangking, jane-jane wong gendeng, dicekel cek, diudet-udet,
dipateni, gebyah uyah, sumpahe sampek koyo ngono yo…( SAC, KFI, 132-133)
Data
(112) tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam teks KBBA menggunakan pilihan kata informal. Kata informal tersebut
berbahasa Jawa dan berbahasa asing.
Penggunaan kosakata berbahasa Jawa yang merupakan relasi makna tersebut
membawa ideologi tertentu untuk mendukung pemahaman makna teks. Demikian juga
pemakaian kosakata ‘asterik’ yang merupakan tokoh cerita dongeng asing, mampu
mendukung pemahaman makna bahwa dalam teks tersebut terdapat tokoh asing sebagai
adanya orang asing dalam realita sosial
yang terjadi. Atau dapat disimpulkan bahwa pemilihan kosakata informal yang
berbentuk pemakaian kosakata berbahasa Jawa dan berbahasa asing dalam KBBA ini bertujuan untuk mendukung
pemahaman makna teks.
Berdasar
data (113), teks SAC tersebut
menggunakan kata-kata informal. Pemakaian kata-kata informal berbahasa Jawa
tersebut memberikan kesan agar makna
teks lebih mudah dipahami dan mendapatkan kesan santai, menghibur serta
menunjukkan adanya kelas bawah. Hal tersebut menunjukkan adanya kelas bawah
untuk mendukung makna perlawanan simbolik pada lambatnya penyelesaian kasus
bank Century. Dari sini secara simbolik dapat dikatakan bahwa dari pilihan kata
informal ini dapat memberikan kesan bahwa rakyat atau sebagai kelas bawah
mengharapakan adanya penyelesaian kasus bank Century.
Berdasar uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa penggunaan kosakata pada kajian relasional, khususnya
penggunaan kosakata informal adalah bertujuan untuk mendukung pemahaman makna
teks. Misalnya Penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Inggris pada teks KBBA,
pemilihan kosakata berbahasa Inggris ‘Asterik’ bermakna bahwa dalam teks
tersebut terdapat tokoh asing sebagai
adanya orang asing dalam realita sosial yang direspon penulis. (2)
Penggunaan kosakata informal berbahasa daerah menunjukkan adanya kelas bawah.
(3) Penggunaan kosakata informal mendukung kesan santai dan menghibur. (4)
Penggunaan kosakata informal secara simbolik menunjukkan adanya kelas bawah
yang melakukan perlawanan. (5) Penggunaan kosakata informal untuk mendukung
perjuangan ideologi tokoh.
2) Penggunaan Kosakata Formal
Penggunaan kosakata formal terdapat
pada data
berikut
(118) Terdapat
beberapa kata khusus yang digunakan
adalah progresi nada-nada, legislatif dan eksekutif, merepresentasikan,
demokrasi (AIR, KFI,17,18, 19)
(119) Image, internasional, alternative, kastanisasi,
diskriminatif, kompetitif non-infotainment (JPPD, RFi, 85-90)
Data
(118) dan (119) menunjukkan bahwa pada teks AIR terdapat pemilihan kosakata
formal. Hal ini dapat terlihat dari dipilihnya beberapa kata ilmiah. Kata-kata
tersebut merupakan kata-kata ilmiah yang bisa mendatangkan kesan formal dan
dapat menciptakan kesan kekuasaan. Pilihan
kosakata yang formal ini secara simbolik dapat memberikan kesan bahwa
masalah yang ada dalam teks merupakan masalah yang serius, yaitu masalah persatuan dan kesatuan. Atau dapat
disimpulkan bahwa pemilihan kosakata formal dalam teks AIR ini berguna untuk
mendukung ideologi tentang pentingnya persatuan dan kesatuan. Atau dapat dikatakan
bahwa penentuan formal dan informal ditentukan oleh masalah yang ada dalam teks
atau ideologi apa yang diperjuangkan.
Selain kata-kata yang
formal, sesuai data (118) dan (119) teks AIR
dan JPPD ini, pemakaian kosakata
informal yang berbahasa daerah tidak ada. Hal ini tidak sesuai dengan tulisan
ST yang lain yang banyak menonjolkan pilihan kata kedaerahan, misalnya bahasa
Jawa dan Madura. Selain itu, tidak dipakainya bahasa daerah, karena untuk
menumbuhkan kesan bahwa permasalahan persatuan dan kesatuan nasional sangat
penting dan serius. Oleh karena itu penggunaan kosakata berbahasa daerah
dihindari untuk menghindari kesan kedaerahan dan menciptakan kesan kesatuan
serta untuk mendukung perlawanan secara simbolik yang dilakukan SJ terhadap
semakin pudarnya persatuan dan kesatuan.
Berdasar uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa penggunaan kosakata pada kajian relasional, khususnya
penggunaan kosakata formal (1) bisa mendatangkan kesan formal, dan seriusnya
masalah, (2) kosakata formal untuk mendukung ideologi yang sedang diperjuangkan
tokoh, yaitu mendukung perlawanan semakin pudarnya persatuan dan kesatuan. (3)
Pengunaan kosakata formal, untuk mendatangkan dan menunjukkan posisi, status,
keseriusan, dan kekuasaan .
c.
Penggunaan Kosakata pada Nilai Ekspresif
1)
Penggunaan
Kosakata untuk Melakukan Penilaian Negatif
Aspek ketiga yang dimiliki kosakata adalah nilai
ekspresif. Dua hal yang berhubungan dengan nilai ini adalah “evaluasi
positif” dan “negatif”. Penutur sering memunculkan evaluasinya
terhadap realitas secara implisit
melalui kosakata ini. Perbedaan antar tipe wacana dalam nilai-nilai
ekspresif dari berbagai kosakata memiliki signifikan secara ideologi. Hasil
analisis kosakata pada kajian nilai ekspresif wacana NKB dan LE karya ST
adalah sebagai berikut.
(122) "Janji saya dulu ke Pak Bagong
bukanlah janji Belanda bukan pula janji kampanye yang pasti tidak ditepati.
Janji itu adalah janji yang tulus (SS, EPN, 51).
(123) Di planet itu tak ada tokoh yang sifatnya
kayak Sengkuni, mereka hanya menggunakan
Sengkuni untuk melampiaskan sifat buruknya agar tak dipendam
terus-menerus. Bedanya dengan suatu negeri di bumi, di negara itu banyak orang
malu memakai Sengkuni, tapi kelakuannya
Sengkuni sekali… (MMS,EPN, 92)
Data (122) teks SS dapat diketahui bahwa ST sebenarnya
melakukan penilaian negatif pada sebuah realita sosial. Melalui tuturan saya atau bisa dikatakan sebagai penulis
yaitu ST yang berkomunikasi dengan tokoh simbol Bagong, berpendapat tentang
masalah janji-janji kampanye yang tidak ditepati. Dari kutipan tersebut ST melakukan penilaian secara simbolik pada
realitas sosial permasalahan janji kampanye yang tidak ditepati. ST melakukan
penilaian negatif pada realitas sosial secara langsung melalui tokohnya.
Penilaian negatif tersebut dilakukan untuk mendukung ideologi penulis melalui
tokoh ‘saya’. ST berpendapat bahwa janji-janji para politisi partai saat
berkampanye banyak tidak ditepati.
Data (123) teks MMS karya ST merupakan penilaian negatif terhadap permasalahan
sosial yang ada, yaitu penilaian secara simbolik pada realitas sosial sikap
para pejabat atau petinggi negeri
ini. Dari kutipan tersebut dapat
diketahui bahwa ST melakukan penilaian negatif pada permasalahan sosial
tersebut secara tidak langsung.
Maksudnya, ST menilai realitas sosial bahwa para politikus banyak yang pandai
memanfaatkan peluang hanya untuk kepentingan diri sendiri dan tidak untuk
kepetingan masyarakat, tetapi penilaian dilakukan pada cerita tokoh Sengkuni
yang bersifat sangat licik. Dengan demikian penilaian tidak dilakukan secara
langsung pada realitas sosial yang ada, tetapi pada yang diciptakan penulis. Atau dapat dikatakan
terdapat pembelokan cerita. Tokoh politikus tersebut disimbolkan dengan tokoh
Sengkuni. ST juga memberikan ilustrasi
dengan membandingkan perilaku pejabat diluar negeri yang rela mengundurkan diri
bila merasa bersalah, sedangkan di Nusantara orang mengaku tidak menyukai tokoh
dan sifat Sengkuni yang buruk, tetapi sebenarnya banyak sikap pejabat seperti
sengkuni, jahat dan licik. Dapat disimpulkan, data (123) teks MMS bahwa penilaian negatif dilakukan
secara tidak langsung, atau penilaian dilakukan secara implisit. Penilaian pada
realitas sosial dilakukan dengan cara pembelokan cerita yang dilakukan oleh
pengarang. Hal ini dilakukan penulis untuk menyamarkan perlawanan yang
dilakukannya.
2)
Penggunaan
Kosakata untuk Melakukan Penilaian Positif
Pada nilai ekspresif, selain “evaluasi negatif” terdapat “evaluasi
positif” Penutur sering memunculkan
evaluasinya terhadap realitas secara implisit
melalui kosakata ini. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa pada
wacana NKB dan LE hanya sedikit penilaian secara positif. Perbedaan antar tipe wacana dalam nilai-nilai
ekspresif dari berbagai kosakata memiliki signifikan secara ideologi. Hasil
analisis kosakata pada kajian nilai ekspresif wacana NKB dan LE karya ST
adalah sebagai berikut.
(131) Maka salut saya ke tokoh-tokoh agama yang jeli memilih
angka sembilan dan kata “kebohongan” dalam pernyataan mereka. Oh ya, sembilan
tuh klop pula dengan jumlah tokoh pendiri Demokrat. (AIR, EPN, 23)
(132) “Walau ndak setuju dengan nama Gang
Yuni Shara, saya setuju inti gagasan anak muda. Yaitu, carilah nama-nama yang
pro generasi muda..” kata Gareng. (GLKN , EPN, 29)
Dari kutipan di atas SJ
melakukan penilaian secara simbolik pada pemakaian kosakata ‘bohong’ dibanding
‘gagal’. ST menggunakan kata ‘saya’ menganggab bahwa kosakata ‘bohong’ lebih
bermakna tidak terhormat dari pada kata ‘gagal’ dan kosakata ‘bohong’ ini lebih
tepat digunakan untuk merespon kinerja presiden. Dari hasil analisis di atas
sebenarnya terdapat perlawanan simbolik yang dilakukan oleh ST tentang sikap
presiden SBY dalam menanggapi pernyataan para agamawan tentang sembilan
kebohongan kepemimpinan SBY. ST
melakukan penilaian positif secara langsung pada realita sosial adanya sikap
para agamawan.
Penilaian lain yang senada
dengan data (131) adalah data (132).
Penilaian positif yang dilakukan oleh ST dengan menggunakan kosakata
‘saya’. SJ melakukan penilaian positif
pada ide adanya calon presiden yang pro
anak muda. Penilaian dilakukan secara langsung pada realitas sosial tanpa
mengunakan simbol.
Berdasarkan uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa penilaian positif pada realitas sosial dapat
dilakukan sebagai berikut (1) penilaian pada realitas sosial dilakukan langsung
oleh penulis menggunakan tokoh ‘saya’ atau menggunakan tokoh, (2) penilaian
dilakukan secara langsung oleh penulis pada realita sosial yang ada. Realita
sosial tersebut ditampilkan penulis menggunakan metafor untuk menyamarkan
perlawanan (3) penilaian dapat dilakukan secara langsung oleh penulis dengan
menggunakan kosakata ‘saya’. Penilaian ditujukan pada realitas sosial secara
langsung tanpa adanya pembelokan cerita.
Misalnya sikap positif penulis pada keyataan masih banyaknya produk asli
Indonesia yang masih disenangi masyarakat atau konsumen dan sikap penulis pada
ramalan Jayabaya. (3) Penilaian positif
pada realitas sosial yang dilakukan penulis dengan menggunakan tokohnya.
2.
Penggunaan
Gramatika dalam Wacana NKB dan LE Karya ST
Kajian gramatika pada
penelitian ini antara lain mencakup kajian pada aspek nilai relasional. Nilai
relasional ini berhubungan dengan cara bagaimana gramatika mengodekan isyarat
relasi hubungan sosial timbal balik yang diperankan penghasil teks. Salah satu
aspek yang dikaji dalam nilai relasional ini adalah modalitas. Modalitas
relasional terdiri dari (1) intensional, (2) epistemik, (3) deontik, dan (4)
dinamik (Alwi dalam Santoso (2003: 59).
Bentuk modalitas yang ada dalam NKB dan LE karya ST ini dapat dilihat pada tuturan-tuturan yang ada. Dari
tuturan tersebut bisa menunjukkan
keinginan, harapan, ajakan, pembiaran, dan permintaan melalui modalitas
intensional. Sedangkan penilaian penutur terhadap kemungkinan sesuatu dan sikap
pembicara pada suatu kebenaraan misalnya tentang kemungkinan sesuatu,
keteramalan, keharusan, dan kepastian sesuatu diungkapkan melalui modalitas
epistemik. Modalitas yang lain adalah modalitas yang menempatkan penutur dalam suatu posisi dimana
dia menjalankan perintah atau melanjutkan perintah kepada orang lain,
menggunakan modalitas deontik. Sedangkan kesanggupan digunakan modalitas
dinamik. Hasil analisis kajian gramatika dalam wacana NKB dan LE karya ST adalah berikut.
Dalam modalitas intensional yaitu modalitas
yang berhubungan dengan fungsi bahasa untuk menyataan sikap pembicara
sehubungan dengan ‘keinginan’, ‘harapan’, ‘ajakan’, ‘pembiaran’, dan
‘permintaan’ penutur, dalam teks NKB dan
LE karya ST dapat diketahui bahwa
hanya ada dua sikap pembicara yang ditemukan.
Sikap pembicara tersebut terkait dengan ‘keinginan’, dan ‘permintaan’. ST
sebagai penulis wacana ini mempunyai keinginan dengan menggunakan pengungkap
modalitas ‘ingin’, ‘akan’, ‘mau’, ‘mendambakan’, ‘akan’, ‘tidak ingin’, dan dan
sikap pembicara berbentuk ‘permintaan’ dengan pengungkap modalitah ‘lah’ dan
‘sudahlah’. Setiap teks terdapat penggunaan modalitas untuk mendukung sikap
atau ideologi pengarang. Di bawah ini di uraikan sebagian pemakaian modalitas
intensional ‘keinginan’ dan ‘permintaan’ dalam NKB dan LE karya ST
sebagai berikut ini.
(140) Saya Cuma ingin
mengusulkan agar lagu kebangsaan --- yang dibisikkan sejak janin hingga liang
lahat---direvisi atau kalau perlu dibangun kembali sehingga bisa
merepresentasikan-hukum pengucapan berbagai daerah. (AIR, GMd,19)
(141) Gareng ingin menerangkan
kepada pesertadidik betapa pentingnya ketegasan dalam hidup. (ROOS, GMd, 195)
Dari data (140), ‘saya’
sebagai penulis yaitu SJ menggunakan modalitas intensional ‘keinginan’. SJ
menggunakan modalitas intensional yang digambarkan sebagai ‘keinginan’ dengan
pengungkap modalitas ‘ingin’. Penulis
menginginkan lagu kebangsaan bisa merepresentasikan daerah-daerah dengan tujuan
akhirnya lagu kebangsaan bisa menjadi pemersatu bangsa. Sedangkan pada data
(141) menjelaskan bahwa modalitas ini berfungsi untuk mengungkapkan sikap
penulis melalui tokoh Gareng. Gareng
ingin menjelaskan pada siswanya bahwa sebenarnya dalam hidup ini
memerlukan ketegasan.
Dari
data kutipan tersebut, tersirat makna bahwa dari pemilihan modalitas, penulis
melakukan perlawanan secara simbolik pada realitas sosial semakin pudarnya rasa
kesatuan dan persatuan serta sikap orang-orang partai yang tidak mempunyai
ketegasan hidup. Dengan perlawanan ini, penulis menginginkan adanya revisi lagu
Indonesia raya dan menginginkan agar semua anggota partai mempunyai ketegasan
bersikap. Untuk menyatakan keinginannya tersebut, penulis menggunakan modalitas
intensional ‘keinginan’ dengan pengungkap modalias ‘ingin’. Pada data (140) untuk menyatakan sikapnya,
penulis menggunakan agen pelaku yang
jelas. Agen pelaku yang jelas itu adalah menggunakan pelaku ‘saya’, yaitu
penulis sendiri. Hal ini dilakukan bahwa
sikap penulis tidak perlu disembunyikan. Ini bisa dimengerti karena usaha untuk
meningkatkan persatuan dan kesatuan adalah tugas bersama. Sehingga penulis
tidak perlu menyembunyikan agen pelaku. Hal ini berbeda dengan data (141). Pada data tersebut, penulis
menyembunyikan agen pelaku dengan memnggunakan nama tokoh pewayangan
‘Gareng’. Penulis perlu menggunakan sebagai agen pelaku. Hal ini bisa terjadi
karena pada data tersebut menunjukkan bahwa terdapat sikap penutur berbentuk
perlawanan pada kurang tegaskan anggota partai atau wakil rakyat. Maka untuk
menyamarkan agen yang mempunyai sikap tersebut diperlukan agen pelaku
disembunyikan.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pilihan modalitas
yang digunakan dalam NKB dan LE karya ST ditujukan untuk mendukung
makna perlawanan.
3. Penggunaan Struktur Teks dalam Wacana
NKB dan LE Karya ST
Kajian struktur teks dalam penelitian
ini menyangkut kajian gilir tutur dan pengontrolan partisipan. Dalam gilir
tutur yang partisipannya tidak sejajar, gilir tutur juga akan tidak
sejajar. Demikian juga untuk pengontrolan
partisipan, pada partisipan yang memiliki kekuasaan besar akan memaksakan
kontribusinya pada partisipan yang kekuasaannya lebih kecil. Hasil analisis
struktur teks wacana NKB dan LE karya ST adalah sebagai berikut ini.
Dalam NKB dan LE karya ST
terdapat komunikasi satu arah. Komunikasi satu arah ini artinya tidak terdapat
gilir tutur. Ada beberapa wacana dalam NKB dan LE karya ST yang menggunakan komunikasi satu arah, sebagai berikut
ini.
(166)
“Saya iri ke Menak Jinggo…Hidup
luntang-lantung bagai gelandangan di bawah pohon tapi hatinya penuh cinta. Kami
hidup enak di ruang AC , bergemilang duit, tapi cinta kami redup bahkan kering
kerontang,” ungkap seorang anggota dewan. Airmatanya tetes perlahan. (KBBA,
GtP, 12)
(167)“Betul. Apalagi yang
tinggal di gang itu kebanyakan kaum muda,” sambung Petruk.
Bagong menimpal, “Kenapa nggak kita namai saja
Gang Abimanyu? Dia tokoh muda dari Pandawa lho, Rek.” (GLKN, GtP, 29-30)
Data
(166) menunjukkan tidak terdapat gilir tutur dalam teks KBBA karya ST. Komunikasi yang ada adalah komunikasi satu arah
dengan menggunakan partisipan ‘saya’.
Komunikasi yang ada hanya satu arah dengan partisipan menggunakan kata
‘saya’, artinya dalam KBBA ini terdapat ungkapan dari ‘saya’ sebagai penulis,
yaitu ST. ST berpendapat tentang masalah pemodal asing terkait dengan tambang
emas di Banyuwangi. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa penulis
menggunakan partisipan ‘saya’ untuk
merespon masalah lagu kebangsaan. Menurut penulis bahwa lagu kebangsaan
belum merepresentasikan hukum pengucapan berbagai daerah.
Bentuk
komunikasi yang lain adalah komunikasi dua arah dan terdapat interupsi. ST
menggunakan kata penanda interupsi menimpal, nyeletuk, potong, timpas,
sanggahan, membantah, nyelonong, sik-sik, hush. Pada data (167) tersebut
merupakan contoh komunikasinya.
Dari data (167)
kutipan tersebut terdapat interupsi saat
Petruk berbicara ditimpali oleh Bagong. Hal ini menunjukkan adanya kelas sosial
yang seimbang antara Petruk dengan Bagong. Tidak terdapat kesenjangan sosial
dan tidak ada yang berkuasa dan dikuasai.
Dari hasil analisis strutur teks dalam
wacana NKB dan LE karya ST dapat disimpulkan bahwa (1) terdapat komunikasi satu
arah, menggunakan partisipan ‘aku’, ‘saya’,
dan kita (masyarakat). Peristiwa
tutur satu arah ini merupakan cara menyampaikan keinginan, sikap, penilaian,
maupun perintah yang dilakukan oleh ST terkait dengan realitas sosial praktik
diskursif yang ada, (2) terdapat komunikasi dua arah dan ada interupsi. Penanda
interupsi contohnya ‘menimpal, ‘sik-sik’, ’hush’. Interupsi ini menandakan adanya partisipan
yang sejajar. Antara penutur dan petutur tidak terdapat perbedaan kedudukan
atau kekuasaan. Tidak ada yang dikuasai dan menguasai.
B.
Aspek
Kepragmatikan
1. Konteks Situasi sebagai Aspek Kepragmatikan
Dalam NKB
dan LE karya ST terdapat konteks
situasi yang melatarbelakangi adanya wacana NKB
dan LE karya ST. Konteks situasi
tersebut merupakan praktik diskursif. Praktik diskursif tersebut akan
memberikan pengaruh dan menentukan bagaimana teks diproduksi. Bagaimana teks
tersebut diproduksi dapat diamati melalui konteks situasi apa yang
melatarbelakangi adanya wacana tersebut. Konteks situasi tersebut baik yang ada di dalam teks maupun di luar
teks. Yang demikian dapat diamati melalui konteks situasi sebagaimana data
berikut ini.
(175)
Woo…sebenarnya negeri ini nggak terlalu butuh campur tangan modal asing
untuk membuka lapangan kerja…(LE, KSt, 3)
Data
kutipan (175) tersebut diketahui bahwa penulis bereaksi pada realitas
sosial campur tangannya pemodal asing di
Indonesia. Dari adanya konteks situasi tersebut penulis menawarkan pola-pola
perlawanan yang menghibur. Perlawanan
tersebut melalui simbol Gareng.
Simbol gareng, ini merupakan
perlawanan pada sikap orang asing yang ingin mengeruk kekayaan Indonesia.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa konteks situasi yang terkait dengan
kekayaan alam yang diduga melatarbelakangi wacana NKB dan LE karya ST
adalah permasalahan penambangan emas di Banyuwangi yang telah dilakukan oleh pihak swasta dan pihak asing,
serta adanya pemodal asing yang hanya berusaha mengeruk kekayaan alam di
Indonesia. Selain latar belakang konteks situasi tersebut juga dilatar
belakangi oleh carut marutnya prosedur birokrasi. Berdasarkan konteks situasi tersebut ST memproduksi
teks dengan cara menampilkan peristiwa-peristiwa cerita rakyat dan
pewayangan. Teks ditulis dengan cara
menggelitik, mengena, dan terencana rapi dengan bentukan gaya ST sebagai
seorang dalang. Perlawanan dilakukan secara halus, samar, dan unik serta
menarik. Dikatakan secara halus dan samar karena pesan atau ideologi yang
diperjuangkan dilakukan melalui pilihan kosa kata, gramatika, struktur
teks. Produksi teks dilakukan secara
unik karena ST melakukan pembelokan-pembelokan cerita. Pembelokan cerita
dilakukan secara bebas, dan ‘ngawur’. Produksi teks untuk menumbuhkan
kelucuan-kelucuan, dan pembaca bisa terhibur dengan cara menggunakan
tokoh-tokoh punawakan dan tokoh cerita rakyat, sehingga tujuan sebuah
perlawanan tanpa sadar tertanam pada diri pembaca. Perlawanan tersebut bukan
untuk menggulingkan pemerintahan tetapi bertujuan untuk menghidupkan jiwa
kritis masyarakat terhadap kesenjangan-kesenjangan yang ada.
Berdasarkan
uraian tersebut bahwa penulisan wacana NKB
dan LE dilatarbelakangi oleh konteks
situasi tertentu. Diantaranya adalah masalah adanya pemodal asing dan masalah
tambang emas yang ada di Banyuwangi.
2. Maksud Ujaran
sebagai Aspek Kepragmatikan
Perlawanan simbolik dalam NKB dan LE karya ST yang terkait dengan kekayaan alam di negeri ini,
dilatarbelakangi oleh konteks situasi adanya tambang emas di Banyuwangi.
Konteks situasi tersebut merupakan praktik diskursif. Praktik diskursif ini
akan memberikan pengaruh dan menentukan bagaimana teks diproduksi dan
dikonsumsi. Bagaimana teks ini dikonsumsi dapat diamati melalui maksud ujaran
yang ada dalam teks yang mampu memberikan dukungan maksud ujaran yang terkait
dengan konteks situasi tersebut. Maksud ujaran tersebut seperti pada kutipan
data berikut ini.
(210) senjata
wesi kuning kepunyaan Minak Jinggo Cuma pengibaratan belaka. Maksud wesi kuning
adalah tambang emas yang tersembunyi di Banyuwangi. (KBBA, MUj, 14)
(211) Ternyata di
situ tambang emas sudah dikuras oleh orang asing Asterik atas bantuan para
wakil rakyat dan seorang menteri yang berdandan Minak Jinggo (KBBA, MUj,15)
Data
kutipan tersebut dapat difahami bahwa senjata pusaka Gada Wesi Kuning bukan
sekedar besi kuning atau keris pusaka namun merupakan simbol yang digunakan
oleh penulis sebagai tambang emas yang ada di Banyuwangi, sesuai data (210).
Sedangkan tokoh Asterik merupakan simbol ikut campurnya orang asing yang bisa
mengeruk tambang emas di Banyuwangi atas bantuan wakil rakyat dan seorang
menteri yang berdandan seperti Minakjinggo, seperti data (211).
Berdasarkan
maksud ujaran seperti pada data (210) dan (211) tersebut dapat difahami bahwa
wacana KBBA karya ST mengungkap adanya tambang emas yang ada di Banyuwangi.
Tambang emas tersebut telah dieksploitasi, telah dikelola oleh sebuah
perusahaan yang telah mendapatkan ijin untuk mengelolanya. Ijin tersebut keluar
diperkirakan pada tahun 2010. Eksploitasi ini melibatkan pihak asing.
Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
wacana KBBA karya ST merupakan
perlawanan simbolik pada penambangan emas yang ada di Banyuwangi, khususnya
perlawanan pada adanya ikut campur orang asing dalam eksploitasi tambang emas
di Banyuwangi serta semrawutnya birokrasi yang ada.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam wacana NKB dan LE terdapat
maksud ujaran yang mendukung makna perlawanan simbolik adanya pemodal asing dan
semrawutnya birokrasi terkait penambangan emas di Banyuwangi.
C. Aspek Sosiokultural Wacana NKB dan LE Karya ST
Analisis ini merupakan dimensi terakhir dari tiga
dimensi yang ditawarkan oleh Firclough. Aspek sosiokultural atau praksis sosiokultural
didasarkan pada asumsi bahwa konteks yang ada di luar teks mempengaruhi
bagaimana wacana yang muncul dalam teks. Praktek ini tidak berhubungan langsung
dengan produksi teks tetapi menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Terdapat hubungan yang kompleks antara teks,
wacana, dan konteks sosialnya.
Dalam wacana TSSR karya ST terdapat perlawanan yang
dilakukan oleh ST pada keadaan sosial tertentu. Keadaan sosial tersebut
adalah adanya kesenjangan sosial antara
kelas atas dan bawah. Seseorang yang banyak memiliki sesuatu yang dihargai akan
dianggap sebagai orang yang menduduki kelas
atas. Misalnya DPR yang mempunyai kekuasaan dikatakan sebagai kelas
atas. Sedangkan rakyat yang tidak mempunyai pekerjaan atau pengangguran dan
tidak memiliki kekuasaan dan uang, dianggap sebagai kelas bawah. Adanya
kesenjangan antara kelas atas dan kelas bawah dalam masyarakat tersebut
diungkapkan oleh ST sebagaimana data berikut ini.
(255)
“Bom bunuh diri ini,” kata Rooney, “ndak bakal ada kalau seluruh aparat
melakukan pencegahan. Cara mencegahnya adalah menanamkan nilai-nilai luhur
bahwa berani mati itu ecek-ecek. Yang hebat tuh kosok balennya, berani hidup.
Lihat jutaan pengangguran itu. Ndak jelas besok mau makan apa…tapi mereka tetap
berani melanjutkan besok..setelah besok mereka lanjutkan lagi hidup mereka
dengan besoknya lagi …besoknya lagi..besoknya maning…hebat kan? Berani kan?”
“Anda
sendiri berani hidup?”
“Lho? Hahahaha…Jelas saya dan
teman-teman Banggar lebih berani hidup ketimbang para pengangguran itu. Mereka
jauh dari KPK, Bos. Kami? Kami bisa sewaktu-waktu dicokok KPK! Dipenjara! Tapi
lihatlah, kami tetap berani hidup…Berani pakai baju safari ini…Ehmm, kalau
Sampeyan sendiri gimana, Pak Polisi, berani mati apa berani hidup?” (TSSR
, SB, 232)
Yang terjadi dalam
kutipan tersebut adalah bahwa ST menuliskan realita sosial yang ada tentang
adanya pengangguran yang berani memperjuangkan hidup dan menampilkan wakil
rakyat yang mempunyai kekuasaan sehingga seharusnya ditangkap KPK tetapi masih bisa berkelit. Kondisi
ini merupakan realita adanya kelas atas dan kelas bawah. Kelas atas yang
mendapatkan kemudahan dan kesempatan. Walaupun telah diduga melakukan tindak
korupsi tetapi masih punya kesempatan untuk berkelit. Berbeda dengan rakyat
kecil sebagai kelas bawah, mempertahankan hidup hanya untuk hidup atau makan.
Melalui tulisannya ini ST melakukan perlawanan terhadap realitas tersebut yaitu
realitas sosial adanya kesenjangan sosial antara kelas atas dan kelas bawah.
Menurut ST masyarakat
atau rakyat kelas bawah begitu sulitnya mempertahankan hidup. Bekerja hari ini
untuk makan besuk, bekerja besuk untuk makan besuknya. ST menyebutnya sebagai
rakyat yang berani hidup. Lebih lanjut dijelaskan bahwa berani hidup itu hebat, sedangkan berani mati
itu ecek-ecek. Kenyataan ini
berbanding terbalik dengan situasi wakil rakyat. Wakil rakyat mempunyai uang
dan kekuasaan serta saat dipanggil KPK, mereka bisa mangkir. Seharusnya
kesenjangan sosial ini tidak boleh terjadi, karena dalam Undang-Undang Dasar
1945 pokok fikiran pembukaannya
dijelaskan bahwa ‘Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat’. Berdasarkan UUD 1945 tersebut, negara wajib menjaga seluruh
rakyat agar tidak tercipta kesenjangan sosial yang mencolok.
Berdasarkan uraian tersebut, dalam wacana TSSR terdapat pemahaman bahwa terdapat
realita sosial kesenjangan sosial antara masyarakat atau rakyat kelas bawah
dengan wakil rakyat sebagai kelas atas. Wacana TSSR merupakan sikap ST pada
kesenjangan sosial tersebut. ST melakukan perlawanan, yaitu perlawanan simbolik
pada adanya kesenjangan sosial antara kelas atas dan bawah.
Dalam wacana SS karya ST terdapat perlawanan secara
simbolik pada keadaan budaya gotong
royong. Hal tersebut merupakan sikap ST dalam memandang bahwa di negeri
ini, budaya gotong royong semakin terkikis. Kegelisahan ST direpresentasikan
dalam wacana SS dalam NKB
dan LE sebagaimana data berikut ini.
(270) "Kalau saya meninggalkan gotong royong, saya
harus membayar mereka biaya
kompensasi...Ehmmm..kalau bisa transpor saya juga mbok
ditanggung..." kata Bagong. (SS ,
SBd, 54)
Berdasarkan data
(270) dapat diketahui bahwa budaya gotong royong sudah semakin pudar di
nusantara ini. ST merepresentasikan kegelisahaannya terkait dengan keadaan
budaya tersebut pada wacana SS dalam NKB dan LE. Kita akui atau tidak bahwa bangsa Indonesia ini dapat
melepaskan diri dari cengkaraman penjajah adalah melalui gotong royong. Bangsa
Indonesia dapat tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang besar, karena gotong
royong. Sehingga budaya gotong royong telah menjadi tradisi sebagai budaya
warisan lelulur yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Namun sejalan dengan
perkembangan jaman, menurut analisis ST budaya gotong royong mulai memudar.
Berdasar data (270) tersebut terdapat ideologi yang sedang diperjuangkan ST.
Ideologi yang diperjuangkan adalah bahwa kita tidak boleh lupa pada budaya
gotong royong. Kita harus tetap membudayakan gotong royong yang sudah mulai
dilupakan masyarakat.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam wacana SS karya ST terdapat budaya yang diperjuangkan. Budaya luhur bangsa
tersebut adalah budaya gotong royong. ST melakkan perlawanan simbolik pada
konteks budaya yaitu semakin memudarnya budaya gotong royong.
PENUTUP
Simpulan
Dari hasil analisis data, dideskripsikan
hasil penelitian sebagai berikut. Pertama,
perlawanan simbolik dalam aspek
kelinguistikan memperlihatkan bahwa perlawanan dilakukan melalui kosa kata,
gramatika, dan struktur teks yang membentuk kesatuan wacana. Perlawanan simbolik dalam aspek
kelinguistikan tersebut berbentuk ideologi yang diperjuangkan yang
direpresentasikan oleh kosa kata pada nilai
representasional, yaitu simbol dan relasi makna. Sedangkan kosa kata pada nilai relasional yaitu pilihan kosa kata
formal dan informal, serta kosa kata pada nilai
ekspresif yaitu evaluasi positif dan negatif pada realitas sosial, dipilih dan digunakan untuk mendukung makna
ideologi yang diperjuangkan tersebut. Demikian juga pada pilihan gramatika
terkait dengan modalitas yang digunakan, dan srtuktur teks terkait dengan
pilihan gilir tutur dan pengontrolan partisipan, juga dipilih dan digunakan
untuk tujuan mendukung makna ideologi yang diperjuangkan tersebut. Ideologi
yang diperjuangkan tersebut merupakan perlawanan yang simbolik, yaitu
perlawanan yang samar dan kabur. Kedua,
aspek kepragmatikan wacana NKB dan LE karya ST, perlawanan simbolik hadir melalui kontribusi proses produksi dan
konsumsi teks. Latar belakang pengarang berpengaruh pada pemroduksian teks,
sedangkan konsumen memaknai wacana tersebut sebagai bentuk perlawanan yang
simbolik, yaitu perlawanan yang samar dan menghibur. Dalam aspek produksi, menganalisis konteks situasi yang
melatarbelakangi wacana, dan interpretasi teks terkait dengan maksud ujaran
dalam wacana. Penggunaan tokoh sebagai simbol digunakan berdasarkan ideologi
yang sedang diperjuangkan. Teks diproduksi dengan bentukan gaya ST sebagai
seorang dalang. Ideologi yang diperjuangkan berbentuk perlawanan secara
simbolik yang dilakukan melalui pilihan
kosa kata, yang didukung oleh pilihan gramatika, dan struktur teks. Produksi teks menggunakan pembelokan cerita
untuk tujuan penyamaran, dilakukan secara bebas, dan ‘ngawur’ dengan cara (1)
pembelokan cerita, (2) pembelokan nama tokoh, setting cerita, dan (3)
penggunaan simbol dan relasi makna, yang disesuaikan dengan ideologi yang
diperjuangkan. Perlawanan ini bukan untuk menggulingkan pemerintahan tetapi
bertujuan untuk menghidupkan jiwa kritis masyarakat terhadap praksis dominasi
yang ada. Alur yang digunakan adalah alur maju. Maksud ujaran , berdasarkan hasil analisis pada maksud ujaran
mendukung perlawanan simbolik dalam wacana NKB
dan LE karya ST, ditemukan adanya
makna ujaran yang mendukung maksud perlawanan. Ketiga, pada aspek sosiokultural
yang merupakan faktor makro memberikan pengaruh terhadap kehadiran
wacana NKB dan LE. Secara situasional,
konteks sosiokultural tersebut mampu menumbuhkan kegelisahan ST. Kegelisahan
tersebut menimbulkan ekspresi kreatif dalam wacana NKB dan LE. Dalam proses
ekspresi kreatif tersebut, ST berada dalam bayang-bayang komoditas media yang
menaunginya. Kebebasan ekspresif, kultur Jawa, profesinya sebagai dalang yang
lekat dengan suasana humor, memberikan peluang lahirnya wacana NKB dan LE. Pada
tataran sosiokultural, konteks sosialbudaya yang ada di luar teks berpengaruh
pada munculnya teks. Aspek sosiokultural tersebut tidak berhubungan langsung
dengan produksi teks tetapi menentukan bagaimana teks diproduksi dan difahami.
Secara situasional, wacana NKB dan LE karya ST, bisa menjadi semacam cermin setiap kelahirannya. Wacana NKB dan LE karya ST hadir
dilatarbelakangi oleh suatu konteks sosiobudaya tertentu. Peristiwa-peristiwa
konteks sosiobudaya tersebut mengilhami arah dan tujuan teks ditulis. Selain hal itu, wacana tersebut muncul
dipengaruhi oleh penulis sebagai seorang dalang, berbudaya Jawa kuat, dan dalam
hukum media karena sebenarnya
teks-teks dalam wacana NKB dan LE karya ST tersebut sebelum dibukukan,
diterbitkan di Harian Surat Kabar Jawa Pos, sehingga hal tersebut mampu
berpengaruh pada wujud isi wacana. Wacana NKB
dan LE karya ST merupakan bentuk
praktik sosial karena kelahirannya dipengaruhi oleh kondisi sosialbudaya
tertentu. ST sebagai seorang dalang, dan
sarjana Matematika berpengaruh pada produktifitas teks. Kosakata dan peristiwa
pewayangan mendominasi teks.
Saran
Berdasar
hasil penelitian ini, disarankan pada para peneliti yang akan meneliti
perlawanan simbolik pada suatu wacana,
bisa mengunakan analisis wacana Kritis
Model Nourman Firclouck. Penelitian ini dapat bermanfaat secara praktis sebagai referensi
bagi peneliti lain dalam penelitian bahasa, khususnya analisis wacana kritis.
Selain itu, hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penelitian sastra
berikutnya terkait dengan teori AWK yang memfokuskan penelitian pada tiga
aspek, yaitu penganalisisan perlawanan simbolik dalam aspek kelinguistikan,
penganalisisan perlawanan simbolik dalam aspek kepragmatikan, dan
penganalisisan perlawanan simbolik dalam
aspek sosiokultural.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, H. 1992. Modalitas dalam Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Aizid, Rizem. 2012. Atlas
Tokoh-Tokoh Wayang. Jogjakarta: Diva Prres.
Bogdan, RC dan Biklen, S.K. 1982. Qualitative
Research for Education: An Introduction to Theory and Metods. Boston: Allyn
and Bacon. Inc.
Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis
Wacana Kritis. Bandung. Yrama Widya
Fairclough, N. 1989. Language
and Power. New York: Longman Group UK Limited.
Firclough, Norman. 1995. Critical
Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman.
Firclough, Norman. 2003. Language
and Power: Relasi Bahasa, Kekuasaan, dan Ideologi. England: Longman Group.
Halliday, M.A.K. dan Hasan, Ruqaiya. 1976. Cohesion in English. London: Longman.
Harimansah W., Ganjar. 2009. Ideologi
dalam Trilogi Drama Opera Kecoa Karya N. Riantiarno. Disertasi Bidang Studi Pendidikan Bahasa.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Hariwijaya, M. 2013. Semiotika
Jawa: Kajian Makna Falsafah Tradisi.Yogyakarta: Paradikma Indonesia.
Harjanti, Fransisca Dwi. 2012. Penggunaan
Bahasa Media Massa Cetak dalam Perepresentasian Kekuasaan. Proposal
Disertasi. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Hatch, Evelyn and Cheryl Brown, 1995. Vocabulary, Semantic, and
Language Education. Cambridge: Cambridge University Press.
Hoed, Benny H. 1994. Wacana, Teks, dan Kalimat. Dalam Liberty P. Sihombing dkk. Bahasawan Cendekia. Jakarta: FSUI dan
Intermasa.
Jorgensen, Mariane W dan Loise J. Philips. 2007. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Penerjemah: Imam Suyitno dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mahsun. 2005. Metodologi
Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Noerhadi, T.H. 1989. Dalam Bahasa Wanita pun Tersudut. Prisma: Bahasa Kekuasaan dan Perubahan
Sosial,18 (1) : hlm.52-54.
Notopertomo, Margono. 1996. 51
Karakter Tokoh Wayang Populer. Klaten: PT Havamira
Samarin, William J. 1988. Ilmu
Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Santoso, Anang. 2012. Studi
Bahasa Kritis: menguak Bahasa Membongkar
Kuasa.Bandung: Mandar Maju.
Santoso, Anang. 2009. Bahasa
Perempuan: Potret Ideologi Perjuangan. Jakarta: PT Bumi Aksara
Santoso, Anang. 2003. Bahasa
Politik Pasca Orde Baru. Jakarta:
Wedatama Widya Sastra.
Santoso, Anang. 2006. Bahasa, Masyarakat, dan Kuasa: Topik-Topik
Kritis dalam Ilmu Bahasa. Malang: Universitas Negeri Malang.
Santoso, Anang. 2007. Bahasa
Perempuan. Sebuah Protet Ideologi Perjuangan. Jakarta: Bumi Aksara.
Scott. 1993. Perlawanan Kaum
Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sudaryanto. 1993. Metode dan
Aneka Teknik Analisa Bahasa. Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara
Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sukidin, dan Basrowi. 2003. Teori-Teori
Perlawanan dan Kekerasan Kolektif. Surabaya: Insan Cendekia.
Tejo, Sujiwo. 2012. Ngawur
Karena Benar. Depok: Imania.
Tejo, Sujiwo. 2012. Lupa
Endonesa. Yogyakarta: Bentang.
Titscher, Stefan dkk. 2009. Metode
Analisis Teks dan Wacana. Alih Bahasa: Gazali dkk. Editor: Abdul Syukur
Ibrahim. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Wodak, R. 1996. Disorders of Discourse. Harlow-Essex: Addison Wesley
Longman Limited.
Wodak, Ruth and M. Meyer. 2006. Methods
of Critical Discourse Analysis. London: Sage Publiser.
like
BalasHapusHehehe
Hapus